Asal Muasal Shalat disebut Sembahyang

Saat Maharaja Purnawarman (raja Tarumanagara yang ketiga (395-434 M)), sukses dalam usaha penggalian Sungai Gomati serta Candrabaga selama 6112 tombak (sekitaran 11 km), ia mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1. 000 ekor sapi pada golongan brahmana (sumber : Sunda : Makna serta Pandangan Hidup).

Apa yang dikerjakan Maharaja Purnawarman, begitu serupa dengan Ritual Qurban yang dikerjakan Penganut Millah Ibrahim. Momen ini menimbulkan pendapat, kerajaan Tarumanegara sejatinya yaitu penganut Braham (ajaran monotheime peninggalan Nabi Ibrahim), serta bukanlah penganut agama Hindu, yang beberapa terang begitu menentang pengorbanan dengan hewan sapi (Sumber : Komunitas Republika).

Hal semacam ini seperti tercatat pada buku Fa Xian, Catatan Tentang Negeri-negeri Budha (PT Pengetahuan Buana Popular, Jakarta 2005), di halaman 15 :

Didalamnya berisikan catatan Fa Xian/Fa Shien sepulang dari India di masa th. ke-7 Kaisar Xiyi (411M). Pada persinggahannya sepanjang 5 bln. itu ia menulis…

“Kami tiba di satu negeri bernama Yapoti (Jawa serta atau Sumatera) di negeri itu Agama Braham begitu berkembang, sedang Buddha tak seberapa pengaruhnya. “



Monotheime Orang-orang Sunda

Dalam rencanasi teologis orang Sunda pra Hindu, hyang (sanghyang, sangiang) yaitu Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) serta Yang Esa (Batara Tunggal) yang kuasai semua jenis kemampuan, kemampuan baik maupun kemampuan jahat yang bisa memengaruhi roh-roh halus yang kerap menetap di rimba, di sungai, di pohon, di batu atau di beberapa tempat yang lain.

Hyang mengusai semua roh-roh itu serta mengatur semua kemampuan alam. Pada saat masuknya dampak Hindu, rencana ke-esa-an hyang terpelihara lantaran semuanya dewa tunduk serta takluk pada hyang ini, kekuatannya dikira melebihi dewa-dewa yang datang lalu. Dengan kata lain, beberapa orang Sunda pra Hindu-Budha telah berpedoman faham monoteistis di mana hyang dihayati sebagai maha pencipta serta penguasa tunggal di alam.



Rencana Monotheisme, juga tergambar didalam hirarki kepatuhan pada Naskah Siksakandang Karesian, yang diisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan), yang berisi seperti berikut : “Anak satia babakti ka bapa ; pamajikan satia babakti ka salaki ; kawala satia babakti ka dunungan ; somah satia babakti ka wado ; wado satia babakti ka mantri ; mantri satia babakti kanu manganan (komandan) ; nu nanganan satia babakti ka mangkubumi ; mangkubumi satia babakti ka raja ; raja satia babakti ka dewata ; dewata satia babakti ka hyang. ”

Rencanasi ini sesuai sama apa yang di ajarkan oleh Islam, yakni Allah, sebagai Dzat Maha Pencipta. Serta saat nampak sistem Islamisasi di Nusantara. Arti sembahyang juga lahir dari kebiasaan ritus menyembahHyang (Yang Tunggal), sama juga dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa didalam Islam (Sumber : Menjawab Misteri Kelangkaan Candi di Tatar Sunda).

WaLlahu a’lamu bishshawab 

Catatan :

Kehadiran ajaran Monotheisme dalam orang-orang Sunda, kuat sangkaan tak terlepas dari keterikatan historisnya, dengan salah seseorang Pelopor Monotheisme, Nabi Ibrahim.

Jalinan historis itu, dapat tampak dari salah seseorang Leluhur orang-orang Sunda, yang bernama Dewawarman I (Pendiri Kerajaan Salakanagara), yg tidak lain seseorang perantau dari Pallawa, Bharata (India).

Untuk sama dipahami, semula Bangsa Pallawa datang dari Tanah Persia, serta susur galurnya bakal hingga pada zuriat Nabi Ibrahim as. (Sumber : (connection) Majapahit, Pallawa serta Nabi Ibrahim? ).

Demikian pula, Leluhur orang-orang Sunda bernama Ajisaka, yang diprediksikan datang dari Negeri Saka (Sakas), di mana silsilah Bangsa Sakas akan berjumpa pada Keluarga Nabi Ibrahim as. (Sumber : Legenda Ajisaka, membuka zuriat Nabi Ishaq di Nusantara).