Apa yang salah saat akun Twitter resmi TNI-AU bicara soal LGBT dan agama?

Akun Twitter resmi TNI Angkatan Udara memicu perdebatan di kalangan warganet setelah menyatakan bahwa LGBT tidak diterima menjadi TNI AU, dan menegaskan bahwa LGBT termasuk dalam penyakit jiwa.



083601300_1471415332-20160817-atraksi-sukhoi-FF-1



Akun @_TNIAU kemudian membagikan artikel dari pemberitaan media Republika yang mengutip guru besar Universitas Indonesia, Prof Dadang Hawari yang mengatakan pada Maret 2016 bahwa "perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) termasuk dalam gangguan kejiwaan".
Pernyataan ini bertentangan dengan keputusan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang telah menghapus homoseksualitas dari daftar klasifikasi penyakit internasional (ICD-10) untuk gangguan kejiwaan sejak 1992.
Pada Maret 2016 lalu, Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat (APA) menyatakan telah menyurati Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) guna mendorong perhimpunan tersebut untuk mempertimbangkan ulang kebijakan bahwa homoseksualitas masuk dalam kategori masalah kejiwaan.
Dalam laman resmi APA, Saul M Levin selaku direktur asosiasi tersebut, menulis bahwa posisi PDSKJI yang mengategorikan homoseksualitas sebagai masalah kejiwaan merupakan pelabelan yang salah dan telah dibantah oleh sejumlah bukti-bukti ilmiah.

"Ada komponen biologis yang kuat pada orientasi seksual dan itu bisa dipengaruhi interaksi genetik, hormon, dan faktor-faktor lingkungan. Singkatnya, tiada bukti saintifik bahwa orientasi seksual, apakah itu heteroseksual, homoseksual, atau lainnya, adalah suatu kehendak bebas," tulis Levin saat itu.
Pernyataan yang disebarkan oleh akun Twitter resmi TNI Angkatan Udara berawal saat warganet menanyakan bagaimana dengan prajurit LGBT.
Akun tersebut menyatakan bahwa LGBT termasuk gangguan kejiwaan, dan setiap prajurit diwajibkan menjalani tes kejiwaan.
Lebih lanjut, akun tersebut kemudian menanyakan lagi, "apakah hubungan sesama jenis termasuk dosa?" Dan pertanyaan itu kemudian membuat warganet bertanya, kenapa akun resmi pemerintah membahas isu tersebut.

BERTENTANGAN DENGAN HUKUM DI INDONESIA




Bagi aktivis LGBT Dede Oetomo, pernyataan bahwa LGBT tergolong sebagai penyakit jiwa bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
"Kalau kita mengambil keputusan negara yang terakhir, itu kan sebetulnya Keputusan Direktorat Kesehatan Jiwa (Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan) dari tahun 1993 menyatakan bahwa homoseksualitas bukan penyakit jiwa. Pemegang akun Twitter TNI-AU itu nggak tahu hukumnya negara berarti," kata Dede.
Dede menambahkan bahwa tren di beberapa negara justru siapa saja boleh mengabdi pada negara. Dia mencontohkan di Amerika Serikat yang sudah membolehkan kelompok LGBT untuk masuk ke militer, meski diawali dengan kebijakan 'don't ask, don't tell' pada era Presiden Clinton pada 1994, yang kemudian di era Presiden Obama pada 2010, kebijakan itu dicabut.

F-5+Tiger+TNI+AU
Presiden Trump sempat melarang kelompok transgender masuk di militer, namun keputusan itu kemudian dibatalkan oleh hakim pengadilan distrik AS, dan per 1 Januari 2018, transgender boleh secara terbuka mendaftarkan diri menjadi anggota militer.
Bukan hanya soal aturan yang tidak sesuai dengan posisi hukum negara, Dede juga tidak yakin ada tes kejiwaan yang mampu mendeteksi seseorang adalah lesbian atau gay. Dan cuitan dari akun Twitter TNI-AU tersebut, menurutnya, tak akan menyurutkan niat bagi kelompok gay dan lesbian yang memang berniat masuk militer.
"Gay dan lesbian itu banyak yang bisa menutupi identitasnya. Sekarang saja di TNI pasti ada, cuma dia harus hati-hati," ujar Dede.
Meski begitu, Dede juga menyoroti bahwa Indonesia perlu memiliki undang-undang yang menjamin agar tidak ada diskriminasi terhadap seseorang karena orientasi seksual dan identitas gender mereka.

IDENTITAS AGAMA

Bukan hanya soal LGBT, akun Twitter resmi TNI-AU juga menyatakan, "Kalau normal, pasti tidak akan dipermasalahkan oleh Agama manapun, coba sebutkan satu Agama samawi yang melegalkan LGBT."
Pernyataan soal "agama samawi yang melegalkan LGBT" juga kemudian mendapat tanggapan dari warganet.
Pada warganet yang menyebut bahwa akun resmi TNI Angkatan Udara sebaiknya mewakili semua kelompok agama di Indonesia, akun TNI-AU membalas bahwa, "sebagai prajurit TNI yang bertaqwa kpd Tuhan YME dan sebagai muslim cukuplah Al-quran menjadi science proof".
Lagi-lagi cuitan dari akun TNI-AU tersebut mendapat tanggapan dari warganet yang merasa bahwa jawaban seperti itu hanya pantas bagi akun pribadi, bukan milik institusi.
Ekspresi keagamaan yang digunakan oleh akun Twitter TNI-AU tersebut -- dengan mengucapkan "assalamulaikum" namun tidak menggunakan sapaan menurut agama lain -- juga dipertanyakan oleh warganet lainnya.

UCAPAN SALAM UNTUK MENCITRAKAN SEBAGAI ORANG ISLAM

Kepada BBC Indonesia, Rinatania Fajriani, kandidat doktoral dari Universitas Copenhagen yang meneliti soal antropologi digital dan yang mempertanyakan cara akun Twitter TNI-AU tersebut berkomunikasi dengan pengikutnya, mengatakan, "ketika dia mengatakan assalamualaikum saja, kata itu kan berasal dari bahasa Arab."
"Memang artinya keselamatan bagimu, tapi itu kan kata yang sangat terasosiasi dengan agama Islam, sehingga bisa terbaca bahwa dia ingin mencitrakan sebagai orang Islam yang menyapa menggunakan kata-kata berbahasa Arab itu," kata Rinatania.
Implikasinya, menurutnya, orang-orang yang tidak beragama Islam "seolah harus menerima bahwa ucapan itu adalah standar bagi semua agama".
Dalam setahun terakhir, Rinatania meneliti semua pidato pejabat publik, dari Presiden Jokowi, para menteri, sampai kepala divisi. Dia juga mengikuti semua akun media sosial berbagai lembaga pemerintah.
"Bahkan Presiden Jokowi pun, dan semua pejabat publik, dalam rapat-rapat atau pidato manapun, mereka selalu menyebutkan, assalamualaikum, itu pertama, lalu salam sejahtera, selamat pagi, om swastiastu, namo buddhaya, salam kebajikan untuk kita semua. Itu standar," katanya.

Rinatania - yang memperhatikan Twitter TNI AU- juga melihat bahwa akun yang sama mengeluarkan berbagai pernyataan yang menguatkan identitas keagamaan tertentu. 


AKUN RESMI INSTITUSI YANG TAK NETRAL

Dia mengakui bahwa sejak awal, pola user engagement akun resmi TNI AU memang berbeda dengan akun-akun resmi institusi pemerintahan lain, namun, "pemikiran bahwa media sosial itu kasual tidak berlaku untuk akun pejabat pemerintah, karena tujuan penggunaannya bukan untuk komunikasi interpersonal."

Menurut Rinatania, tujuan penggunaan media sosial oleh institusi pemerintah seharusnya adalah salah satu bentuk tata kelola pemerintahan yang baik dengan memperlihatkan akuntabilitas.
Namun terlepas dari caranya berkomunikasi dengan pengikutnya, akun TNI AU, "tetap adalah akun resmi institusi pemerintah, jadi dia punya batasan-batasan dan standar yang mengikat."
Dan salah satu standar tersebut adalah ekspresi identitas keagamaan yang seharusnya netral, ujar Rinatania.
"Dia (TNI-AU) tidak bisa melenceng menjadikan (akun) itu sebagai salah satu media untuk mengekspresikan identitas agamanya. Saya mempertanyakan berkali-kali, kenapa harus spesifik 'assalamulaikum', itu kan sangat tidak netral. Kalau mau fair, harusnya, assalamualaikum diikuti dengan standar salam pejabat pemerintah. Kalau dia merasa menyebutkan semuanya terlalu panjang, ya selamat pagi, siang, sore, malam, itu sudah cukup," ujarnya.


http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-42631760