Puasa bagi sebagian org adl menjalankan ibadah dgn niat utk menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu sepanjang waktu yg sudah ditentukan syariat, yaitu sebelum menjelang Subuh hingga menjelang Maghrib. Namun pernahkah kita mengetahui bahwa di dalam menjalankan rukun Islam yg keempat ini terdapat adab-adab yg dituntunkan Rosululloh SAW seputar ibadah puasa? Sebagai umat beliau hendaknya kita meniru apa yg pernah dilakukan beliau ketika berpuasa.
Makan Sahur
Melaksanakan sahur merupakan sunnah mu’akad yg di dlmnya trdapat barokah. Dari Anas bin Malik beliau bersabda: “Makan sahurlah karena sesungguhnya pada makan sahur itu ada barokahnya”.
Oleh karena itu seorang mukmin yg menjalankan puasa Romadhon sangat dianjurkan utk makan sahur & yg lbh baik lg dgn kurma. “Sebaik-baik sahur seorang mukmin adl buah kurma.” (HR. Muslim).
Di sisi lain makan sahur jg utk membedakan antara puasanya umat Rosululloh SAW dgn para ahli kitab sebelumnya sprti yg disabdakannya: “Perbedaan antara puasa kami dgn puasa ahli kitab adl makan sahur”.
Dan yg tdk kalah pentingnya adl dgn mengakhirkan sahur: “Berkah ada pd 3 hal: berjamaah, tsarid, dan makan sahur”.
Dianjurkannya utk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit, nabi SAW berkata: “Kami makan sahur bersama Rosululloh dan kemudian beliau bangkit menuju sholat. Aku bertanya: “Berapa jarak antara adzan I dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadar 50 ayat”.
Arti dari hadits tersebut di atas kini lbh banyak diistilahkan dgn imsak meskipun istilah tersebut tdk pernah diajarkan Nabi SAW, melainkan dengan kecuali bila adzan fajar dikumandangkan, sbgmana Rosululloh SAW brsabda: “Apabila Bilal mengumandangkan adzan maka makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan”. (HR.Muslim)
Bahkan bagi org yg ketika adzan dikumandangkan masih memegang gelas dan semisal untuk minum diberikan rukhshah khusus bagi sehingga dia boleh meminumnya. Dari Abu Hurairah Rosululloh SAW bersabda: “Jika salah seorang kalian mendengar panggilan sedangkan bejana ada di tangan maka janganlah dia meletakkan hingga menunaikan keinginan dr bejana”.
Namun bilamana seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum (biasanya kalau tertutup mendung), mk diperbolehkan makan & minum sampai dia yakin bahwa fajar telah terbit. Firman Alloh: “…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…” (QS.Al Baqoroh:187)
Berbuka Puasa
Tidak dianjurkan Rosululloh SAW melakukan sholat magrib sebelum membatalkan puasanya terlebih dahulu. Karena tipa org yg berpuasa sangat dianjurkan untuk mempercepat berbuka ketika masuk waktu magrib, dan tidak boleh menunda meski ia merasa masih kuat utk berpuasa seperti yg selalu dilakukan para sahabat:“Para sahabat Muhammad adl org yg paling cepat berbuka & paling lambat sahurnya”. (HR.Muslim)
Disisi lain, mempercepat buka puasa termasuk mencontoh akhlak Rosululloh SAW sebagaimana dlm sabdanya: “tiga hal dr akhlaq kenabian: mempercepat berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam sholat”.(HR.Muslim)
(Sumber: Majalah Islam Furqon edisi 81 th.IX/Agustus 2011)
Adab-Adab Puasa: Adab-Adab nan Bersifat Sunnah Waktu Sahur
Puasa memiliki banyak adab atau tata krama, di mana ia tak sempurna kecuali dgn mengerjakannya & tak juga lengkap kecuali dgn menjalankannya. Adab-adab ini terbagi menjadi 2 bagian; adab-adab nan bersifat wajib, nan harus dipelihara & dijaga oleh orang nan berpuasa. Dan adab-adab nan bersifat sunnah nan juga harus dipelihara & dijaga olehnya. Berikut ini pembahasannya lebih lanjut.
Pembahasan 2
ADAB-ADAB nan BERSIFAT SUNNAH
1. Mengakhirkan Sahur
Sahur berarti makan di akhir malam. Disebut sahur karena ia dilakukan pada waktu sahur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah memerintahkan utk makan sahur, di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya pada makan sahur itu terdapat keberkahan. ” (*1)
Hendaklah seseorang berniat mengikuti perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dgn sahurnya itu, sekaligus memperkuat puasanya agar sahur nan dilakukannya itu bisa menjadi ibadah. Dan hendaklah dia mengakhirkan sahur selama tak khawatir terhadap terbit fajar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan hal ter-sebut.
Dari Anas bin Malik, dari Zaid bin Tsabit, dia berkata: “Kami pernah makan sahur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berangkat menunaikan shalat, maka kami tanyakan, ‘Berapa lama jarak antara adzan & makan sahur?’ Beliau menjawab, ‘Sekitar (waktu nan cukup utk membaca) 5 puluh ayat. . . ” (*2)
2. Menyegerakan Berbuka Puasa
Disunnahkan bagi orang nan berpuasa utk menyegerakan berbuka jika matahari sudah benar-benar terbenam, dgn melihatnya langsung atau dgn memperkirakan hal tersebut, atau dgn terdengarnya adzan, karena adzan merupakan berita nan paling dapat dipercaya.
Disunnahkan bagi orang nan berpuasa utk berbuka dgn kurma ruthab (kurma basah), jika tak maka boleh dgn tamr (kurma kering), & jika tak ada juga, maka hendaklah dgn meneguk air. Demikianlah nan biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Manusia ini akan senantiasa baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa. ” (*3)
Dan disunnahkan bagi orang nan berpuasa utk memanjatkan do’a pada saat akan berbuka dgn do’a-do’a nan mudah diucapkannya, karena pada saat itu merupakan waktu dikabul-kannya do’a. Oleh karena itu, seorang muslim harus memanfaatkannya dgn sebaik-baiknya dari waktu-waktu ketaatan.
3. Menjaga Lisan dari Kata-Kata nan Tidak Bermanfaat
Orang nan berpuasa harus menjaga lisannya dari kata-kata nan tak bermanfaat, karena lisan merupakan sumber dari banyaknya dosa. Orang-orang mukmin sebenarnya adalah nan selalu menghindari pembicaraan nan tak berarti & senantiasa menghiasi diri dgn adab-adab Islam dlm ucapan mereka.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang nan menjauhkan diri dari (perbuatan & perkataan) nan tak berguna. ” [Al-Mu’-minuun: 3]
Selain itu, Dia juga berfirman:
“Tidak ada suatu ucapan pun nan diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas nan selalu hadir. ” [Qaaf: 18]
Orang nan berpuasa harus mempuasakan (menahan) juga anggota tubuhnya dari segala macam perbuatan dosa, lisannya dari dusta, kata-kata keji, & sumpah palsu, serta kata-kata nan tak berarti. Juga mempuasakan perutnya dari makanan & minuman, & kemaluannya dari perbuatan keji. Kalau memang dia harus berbicara, maka dia akan berbicara dgn kata-kata nan tak akan merusak puasanya. Jika dia berbuat maka dia akan berbuat hal-hal nan tak akan merusak puasanya, sehing-ga nan keluar darinya adalah ucapan nan baik & amal perbuatan nan shalih.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada setiap muslim nan berpuasa utk menghiasi diri dgn akhlak nan mulia & baik serta menjauhkan diri dari kata-kata & perbuatan keji serta hina. Setiap muslim dilarang mengerjakan semua hal nan buruk tersebut di atas pada setiap saat, tetapi larangan itu lebih ditekan-kan lagi pada saat dia menjalankan ibadah puasa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, seperti nan diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:
“Puasa itu adalah perisai. Oleh karena itu, jika datang hari puasa, maka janganlah salah seorang di antara kalian melakukan rafats (berbicara kotor atau hubungan badan/jima’) & tak juga membuat kegaduhan. Dan jika ada orang nan mencaci atau menyerangnya, maka hendaklah dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa. ‘” (*4)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah mengatakan,”. . . . Secara lahiriah, telah muncul musykilah (masalah) bahwa kata mufa’alah menuntut adanya perbuatan dari 2 belah pihak. Orang nan berpuasa tak akan muncul darinya perbuatan nan dapat memancing reaksi, khususnya pertikaian. Sedangkan nan dimaksud dgn mufa’alah adalah kesiapan utk menanggapinya. Artinya, jika seseorang siap utk melakukan penyerangan terhadapnya atau caci-maki terhadapnya, maka hendaklah dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa. ‘ Jika dia mengatakan hal tersebut, maka dimungkinkan baginya utk menahan diri darinya (pertikaian) . . . . . Apakah boleh dikatakan dgn ucapan: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa,’ kepada orang nan menyerangnya atau dgn mengatakannya sendiri? Dalam hal ini terdapat 2 pendapat. Imam an-Nawawi mengatakan, ‘Menyatukan keduanya adalah lebih baik. ‘” (*5)
4. Ghadhdhul Bashar (Menundukkan Pandangan)
Orang nan berpuasa haruslah menundukkan pandangannya dari apa-apa nan diharamkan oleh Allah Ta’ala. Karena sebagaimana anggota tubuh lainnya, mata juga mempunyai hak puasa, & puasa mata adalah dgn menundukkannya dari hal-hal nan haram.
Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah kepada laki-laki nan beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya & memelihara kemaluannya; nan demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa nan mereka perbuat. ‘ Katakanlah kepada wanita nan beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka & memelihara kemaluan mereka. ” [An-Nuur: 30-31]
Bulan puasa merupakan lembaga pendidikan nan paling baik bagi orang-orang nan diuji dgn berbagai keinginan syahwat & ketamakan terhadap pujian manusia. Dia akan menghindari semua itu jika dia memahami hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala serta mencermati hikmah-Nya serta kegigihannya utk memperbaiki puasanya & menggapai pahalanya. Pada bulan tersebut, dia akan melatih diri utk menundukkan pandangan serta menahan anggota tubuhnya dari hal-hal nan buruk & menyibukkan hati dgn memikirkan ayat-ayat Allah sekaligus mengingat nikmat-nikmat-Nya nan telah dikaruniakan kepadanya, seraya mengintrospeksi diri dlm mensyukurinya dgn mengalokasikannya sebaik-baiknya.
Adapun orang-orang nan suka melakukan perbuatan sia-sia nan melepaskan pandangan mereka pada hal-hal nan haram serta tak menjaga kesucian bulan tersebut, maka mereka tak akan mendapatkan sesuatu utk diri mereka, kecuali kerugian & penyesalan di dunia serta mendapatkan siksa nan sangat pedih di akhirat kelak.
Benarlah ungkapan seorang penyair (*6), di mana dia mengungkapkan:
“Kapan saja engkau melepaskan pandangan ke semua mata,
maka engkau akan dibuat lelah oleh pemandangan.
Engkau akan mendapatkan nan semuanya engkau tak mampu
menahannya & tak juga dari sebagiannya engkau mampu bersabar. “
Di antara Adab Sunnah nan Dilakukan oleh Orang nan Berpuasa:
1. Memperbanyak bacaan al-Qur-an, berdzikir, berdo’a, shalat, serta shadaqah.
2. Mengingat semua nikmat nan telah diberikan oleh Allah Ta’ala kepadanya, di mana Dia telah memperkenankan para hamba-Nya utk menjalankan ibadah puasa serta memberikan kemudahan dlm menunaikannya. Berapa banyak orang nan berangan-angan agar bisa menjalankan puasa, tetapi tak mudah baginya utk menjalankannya.
3. Menjaga semua anggota tubuh dari segala hal nan buruk, di mana seorang nan sedang berpuasa tak akan mengerjakan apa nan dapat menodai puasanya. Anggota tubuh nan diperintahkan utk selalu dijaga adalah lisan, mata, telinga, perut, kemaluan, tangan, & kaki. Oleh karena itu, jika seorang muslim telah menjaga anggota tubuhnya dari segala macam bentuk dosa, maka puasanya akan sempurna & pahalanya pun akan dilipatgandakan.
4. Disunnahkan bagi orang nan berpuasa utk memberikan makanan & minuman utk berbuka kepada seseorang atau lebih nan telah berpuasa meski hanya dgn 1 buah tamr (kurma kering) atau seteguk air. nan demikian itu merupakan shadaqah nan paling utama pada bulan Ramadhan.
5. Disunnahkan bagi orang nan berpuasa utk memakai siwak. Tidak ada perbedaan waktu antara awal siang & di akhir siang -berdasarkan apa nan kami tarjih- karena siwak itu dapat membersihkan mulut sekaligus mendapatkan keridhaan Allah.
Demikianlah sebagian dari adab puasa nan bersifat wajib & sunnah nan harus dipegang & dijadikan hiasan oleh orang nan berpuasa agar dia bisa benar-benar beruntung, pada hari di mana sebagian orang beruntung & sebagian lainnya menga-lami kerugian.
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Orang-orang nan berpuasa itu terdiri dari 2 tingkatan:
Pertama: Orang nan meninggalkan makan & minum serta nafsu syahwatnya karena Allah Ta’ala dgn mengharapkan Surga sebagai gantinya dari sisi-Nya. Demikianlah perniagaan & mu’amalah dgn Allah Subhanahu wa Ta’ala, di mana Dia tak akan menyia-nyiakan pahala orang nan paling baik amal perbuatannya. Tidak akan merugi orang nan bermu’amalah dengan-Nya, tetapi justru dia akan mendapatkan keuntungan nan besar. . . .
Kedua: Di antara orang nan berpuasa itu terdapat orang nan berpuasa di dunia dari segala sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dimana dia menjaga kepala & semua nan ada padanya, perut & semua nan dikandungnya, mengingat kematian, & menghendaki akhirat maka dgn begitu dia meninggalkan perhiasan dunia. Inilah ‘Idul Fithrinya, hari pertemuan dgn Rabb-nya, & kegembiraannya dgn melihat-Nya. ” (*7)